Nasabah “Diam-diam Boikot” Bank yang Gunakan Jasa Debt Collector
JAKARTA, KepoinAja79.Com - Di tengah ketatnya tekanan ekonomi, muncul fenomena baru, sejumlah nasabah secara diam-diam mulai “boikot” bank yang menggunakan jasa penagih utang eksternal (debt collector).
Banyak dari mereka memilih menutup rekening atau memindahkan tabungan ke bank lain, bukan semata karena gagal bayar, tetapi karena trauma atas pengalaman penagihan yang dinilai mengintimidasi.
Tak sedikit, nasabah mengaku tidak nyaman ketika menghadapi penagihan dari pihak ketiga setelah mereka gagal bayar kartu kredit atau pinjaman.
Sebagian besar merasa bahwa metode penagihan mulai dari telepon berulang, kunjungan mendadak, hingga ancaman sudah melewati batas kewajaran.
Kondisi ekonomi yang sulit membuat banyak peminjam kesulitan untuk segera menyelesaikan kewajiban mereka.
Ketika kewajiban jatuh tempo, ketidakmampuan membayar bukan hanya masalah finansial, tetapi juga bisa berujung pada tekanan emosional karena cara penagihan yang terasa agresif.
Bagi sejumlah orang, rasa aman dan reputasi sosial menjadi lebih penting daripada mempertahankan rekening di bank yang “berisiko” memunculkan stres berkelanjutan.
Hal ini mendorong mereka memilih “pindah bank” agar terhindar dari potensi intimidasi di masa datang.
“Saya sudah beberapa kali mengajukan nego. Tapi tetap saja, karena tunggakan dianggap kolektibilitas 5 dianggap tidak ada itikad baik. Padahal saya sudah datang langsung, kirim email, bahkan mau datang ke kantor mereka,” ungkap salah seorang nasabah seperti dikutip dari Media Konsumen.
Keluhan seperti ini menunjukkan bahwa sebagian nasabah merasa tidak dipahami keadaan ekonominya meskipun mereka punya itikad melunasi utang.
Karena itu, mereka menilai bahwa ketidakmanusiawian praktik penagihan menjadi alasan kuat untuk berhenti menggunakan bank yang sama.
Sementara itu, perbankan umumnya menegaskan bahwa penggunaan jasa pihak ketiga untuk penagihan termasuk debt collector adalah bagian dari prosedur standar ketika kredit telah masuk status macet atau kolektibilitas buruk.
Alasan utama bank memakai debt collector untuk efisiensi penagihan ketika kredit macet atau gagal bayar.
Bank menilai bahwa tenaga internal sulit memantau semua debitur.
Debt collector diharapkan bisa via proses penagihan yang lebih “profesional”, sesuai dengan regulasi: membawa surat tugas resmi, mematuhi aturan jam kunjungan, dan menghindari tindakan kasar.
Bank mengklaim penggunaan pihak ketiga ini dilindungi oleh regulasi, misalnya dalam regulasi terkait kartu kredit dan kredit macet.
Meski begitu, kritik publik dan regulasi mengingatkan bahwa penggunaan jasa penagih eksternal tetap harus diiringi pengawasan ketat.
Menurut pengaduan dari lembaga konsumen, praktik premanisme dan teror oleh debt collector bukan hal baru.
Banyak nasabah melaporkan intimidasi verbal, penghubungan ke kontak darurat, atau bahkan kunjungan mendadak tanpa persetujuan.
Regulasi mewajibkan bahwa penagihan memakai jasa eksternal harus dilakukan sesuai standar dalam regulasi perbankan, dan bank tetap bertanggung jawab atas tindakan debt collector.
Walau aturan ada, pelanggaran tetap marak, mulai dari kekerasan, ancaman, sampai penagihan di tempat kerja. Hal ini memicu desakan agar regulasi diperketat atau praktik debt collector dikaji ulang.
Fenomena boikot diam-diam oleh nasabah terhadap bank yang menggunakan jasa debt collector mencerminkan kegelisahan sosial di massa ekonomi sulit.
Bukan hanya soal kredit macet, tetapi juga soal martabat, rasa aman, dan perlakuan manusiawi.
Jika pihak bank dan regulator gagal menjamin penagihan yang adil dan etis, potensi kehilangan kepercayaan dari nasabah bisa semakin besar dan migrasi ke bank lain bisa jadi tren yang terus tumbuh.

Posting Komentar